Iswan mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah tidak serius dalam menjalankan amanat UU SJSN. Pertama, Pemerintah tak sungguh sungguh menjalankan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) yang ditandai dengan alokasi anggaran APBN hanya Rp20 triliun (PBI = 86,4 juta orang).
Padahal, lanjut Iswan, dengan Rp60 triliun seluruh rakyat Indonesia
yang berjumlah 250 juta sudah tercover dengan melaksanakan UU No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu negara mengalokasikan 5% APBN (Rp100
triliun) dan 10% APBD untuk kesehatan.
“Atau seharusnya Pemerintah mengalokasikannya dari dana FISKAL sebesar Rp180 triliun sampai dengan Rp230 triliun, akibat pencabutan Subsidi BBM dan anehnya pemerintah malah mengalokasikannya kepada BUMN sebesar Rp74 triliun,” terang Iswan.
Kedua, Permenkes No.59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JKN. Ketiga, adanya dugaan mafia rumah sakit dan oknum dokter atau tenaga medis yang me-mark up biaya rumah sakit dan biaya obat-obatan yang sudah berlangsung lama.
“Jasa dokter spesialis di mark up setinggi langit, sehingga modus ini membuat biaya rumah sakit menjadi selangit melebihi biaya yang telah diatur dalam Permenkes No.59 Tahun 2014,” katanya.
Menurut Iswan, pemerintah seharusnya merevitalisasi BUMN produsen obat-obatan sehingga harga obat bisa menjadi lebih murah dan bisa melawan komersialisasi harga obat-obatan yang sudah keterlaluan.
"Dampaknya dari mafia obat adalah jebolnya biaya pengobatan sehingga BPJS Kesehatan harus mendapatkan dana tambahan dari APBN-P 2015 sebesar Rp5 triliun, karenanya BPJS Kesehatan juga harus lebih ketat mengawasi klinik/RS yang melakukan Mark Up," papar Iswan.
Iswan juga meminta pemerintah menindak tegas bahkan harus berani mencabut izin rumah sakit yang tak mendukung dan mensupport BPJS Kesehatan dan mencabut izin praktik bagi para dokter atau apoteker yang diduga terlibat dalam mafia obat- obatan sehingga menjadi mahal.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kelemahan dalam pengelolaan pembiayaan dalam program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, yakni pembiayaan terhadap fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau disebut dana kapitasi. Setelah mengobservasi Puskesmas sebagai salah satu FKTP, KPK menemukan kelemahan dalam empat hal.
Pertama, terkait regulasi yang mengatur pembagian jasa medis dan biaya operasional yakni Perpres No. 32 Tahun 2014 dan Permenkes No. 19 Tahun 2014. Kedua, aspek pembiayaan. Ketiga, tata laksana dan sumber daya. Keempat, KPK menyoroti soal pengawasan.
“Atau seharusnya Pemerintah mengalokasikannya dari dana FISKAL sebesar Rp180 triliun sampai dengan Rp230 triliun, akibat pencabutan Subsidi BBM dan anehnya pemerintah malah mengalokasikannya kepada BUMN sebesar Rp74 triliun,” terang Iswan.
Kedua, Permenkes No.59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JKN. Ketiga, adanya dugaan mafia rumah sakit dan oknum dokter atau tenaga medis yang me-mark up biaya rumah sakit dan biaya obat-obatan yang sudah berlangsung lama.
“Jasa dokter spesialis di mark up setinggi langit, sehingga modus ini membuat biaya rumah sakit menjadi selangit melebihi biaya yang telah diatur dalam Permenkes No.59 Tahun 2014,” katanya.
Menurut Iswan, pemerintah seharusnya merevitalisasi BUMN produsen obat-obatan sehingga harga obat bisa menjadi lebih murah dan bisa melawan komersialisasi harga obat-obatan yang sudah keterlaluan.
"Dampaknya dari mafia obat adalah jebolnya biaya pengobatan sehingga BPJS Kesehatan harus mendapatkan dana tambahan dari APBN-P 2015 sebesar Rp5 triliun, karenanya BPJS Kesehatan juga harus lebih ketat mengawasi klinik/RS yang melakukan Mark Up," papar Iswan.
Iswan juga meminta pemerintah menindak tegas bahkan harus berani mencabut izin rumah sakit yang tak mendukung dan mensupport BPJS Kesehatan dan mencabut izin praktik bagi para dokter atau apoteker yang diduga terlibat dalam mafia obat- obatan sehingga menjadi mahal.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kelemahan dalam pengelolaan pembiayaan dalam program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, yakni pembiayaan terhadap fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau disebut dana kapitasi. Setelah mengobservasi Puskesmas sebagai salah satu FKTP, KPK menemukan kelemahan dalam empat hal.
Pertama, terkait regulasi yang mengatur pembagian jasa medis dan biaya operasional yakni Perpres No. 32 Tahun 2014 dan Permenkes No. 19 Tahun 2014. Kedua, aspek pembiayaan. Ketiga, tata laksana dan sumber daya. Keempat, KPK menyoroti soal pengawasan.
0 komentar:
Posting Komentar